May 7, 2014

Del_Bully

“Mengapa, ya, aku yang selalu harus mengerjakan semuanya?” tanya Marnie dalam hati. Air matanya menetes seiring tetesan gerimis yang jatuh membasahi atap sekolah.
Marnie memang anak yang berbeda. Dia mungkin tidak secantik anak-anak perempuan lain di sekolahnya, tetapi ia memiliki hati yang paling murni dan otak yang paling cemerlang. Ia sangat mudah bergaul. Ia juga mempunyai teman dekat sejak kecil yang bernama Melanie. Sayangnya, ada geng anak jahat yang selalu membully dia,  memanfaatkannya, dan merendahkannya.
               
“Anak-anak, untuk tema pelajaran ini, kita tidak akan mengadakan ulangan, tapi untuk nilai kalian, kalian harus membuat projek,” kata Bu Peterson, guru fisika untuk kelas 7A. “Apa projeknya?” tanya Melanie. “Kalian harus membuat presentasi tentang gaya. Oh ya, projek ini juga kerja kelompok, jadi kalian semua akan dibagi menjadi enam kelompok, empat anak dalam setiap kelompok,” jawab Bu Peterson. “Boleh tidak kami memilih sendiri teman sekelompoknya?” tanya Colin, salah satu anggota geng anak jahat yang sering membully Marnie. “Tidak, Colin. Untuk projek ini, anggota-anggota kelompoknya akan diundi,” jelas Bu Peterson. “Tidak ada pertanyaan lagi? Baiklah, kalau begitu kita undi sekarang, ya, kelompok-kelompoknya.”
               
Marnie tidak pernah menyukai pengundian ini. Ia berharap untuk tidak dalam satu kelompok dengan siapa pun dari geng anak jahat: Colin, Roxy, Tom, atau Jadis.
               
“Kelompok pertama: Tom, Lucy, Vanessa, dan Carrie,” sahut Bu Peterson.
               
“Kelompok ke-dua: Marnie, Jadis, Colin, Roxy.”
               
Marnie sangat terkejut, dan sedih sekali. Semangatnya langsung menurun. Begitu sedihnya Marnie yang malang, hingga ia tidak mendengarkan empat kelompok lainnya.
               
Bel telah berbunyi, dan saatnya untuk makan siang. Marnie berjalan ke kantin dengan muka muram dan kepalanya menunduk. Di depan pintu kantin, Jadis tiba-tiba menghampiri Marnie. “Selamat, ya, anak aneh,” ejek Jadis. Jadis dan gengnya kemudian masuk ke dalam kantin sambil menertawakan Marnie. Tak lama setelah itu, Melanie datang. “Sabar, ya, Marnie. Pasti Tuhan mempunyai maksud baik dibalik ini semua. Tenang, ya,” ujar Melanie. “Mari kita makan saja sekarang. Aku sudah lapar, nih.”
               
Seperti biasa, Marnie dan Melanie duduk berdua dan mengambil meja di dekat pintu. Sambil memakan menu spesial hari ini yaitu sayap ayam bumbu barbekyu dengan kentang tumbuk, mereka asyik mengobrol dan tertawa, membuat Marnie melupakan kejadian tadi.
               
Di ujung ruangan lainnya, Colin, Tom, Roxy, dan Jadis tampak sedang sibuk mendiskusikan sesuatu. Sungguh mencurigakan bahwa ketika mereka berempat sedang berbicara, mereka melirik-lirik ke arah meja Marnie dan Melanie. Lima menit mereka sibuk sendiri, dan tiba-tiba… Plak! Lemparan Roxy tepat sasaran. Rambut Marnie yang cokelat ikal dan indah, sekarang kotor dengan kentang tumbuk.
               
“Aha! Poin untuk itu!” sahut Roxy.
               
“Rasakan itu, anak freak!” teriak Tom.
               
Geng anak jahat berhasil mempermalukan Marnie di depan seluruh murid di sekolahnya. Ia hanya bisa lari dari ruang kantin sambil menangis dan menutupi mukanya. Ia tak tahu kemana ia harus pergi, jadi ia masuk ke kamar kecil dan menangis di pojokan. Sementara itu, Melanie dan beberapa teman lainnya sibuk mencari-cari Marnie. Mereka tidak tahu di mana Marnie berada, dan sangat kebingungan.

Sudah setengah jam Marnie menyendiri di kamar kecil. Kebetulan ada Bu Crow, seorang konselor di sekolah itu, yang masuk. Ia melihat Marnie sedang menangis di ujung ruangan. “Ada apa Marnie?” tanya Bu Crow. Marnie tidak mau menjawab. “Apa ada masalah?” tanya Bu Crow lagi. Marnie tetap tidak mau menjawab. “Ayo kita ke ruangan saya dan membicarakan soal ini,” ajak Bu Crow. Marnie menurutinya dan berjalan menyusuri lorong menuju ruangan Bu Crow.

Sesampai di ruangan Bu Crow, Marnie dan Bu Crow duduk di sofa biru yang empuk. “Pertama, mengapa rambutmu penuh dengan kentang tumbuk?” tanya Bu Crow yang sangat penasaran. Marnie tidak meresponi pertanyaan tersebut pada awalnya, sampai akhirnya Bu Crow berkata, “Tidak apa-apa, nak. Jangan takut. Beritahu saja kepada saya, supaya saya dapat membantumu, Marnie.” Akhirnya Marnie mengeluarkan suara. “Roxy melemparnya,” kata Marnie dengan gugup. “Mengapa?” tanya Bu Crow. “Saya tidak tahu,” jawab Marnie. “Hhmm, kalau ibu boleh bertanya, apa yang terjadi sebelum kamu dilempari kentang tumbuk, Marnie?” tanya Bu Crow dengan serius. Dengan terbata-bata, Marnie akhirnya menceritakan seluruh kejadian yang dialaminya.

 “Oh, begitu, tapi mengapa kamu berada di kamar kecil sendirian?” tanya Bu Crow.

“Saya merasa dipermalukan dan sedih. Makanya saya mau menyendiri,” jelas Marnie.

“Kamu harus kuat, Marnie. Jangan takut melawan kejahatan. Kalau mereka mem-bullymu lagi, jangan hiraukan. Mereka hanya menunjukkan kalau mereka sebenarnya iri denganmu karena kamu anak yang pintar.”

Bel masuk pelajaran berbunyi dan saatnya untuk Marnie kembali masuk kelas. Marnie kembali belajar dalam kelas, tapi dengan semangat yang baru.

Hari-hari telah berlalu dan saatnya untuk mengerjakan projek fisika bersama Colin, Jadis, dan Roxy. “Eh, kamu, kerja!” perintah Colin dengan keras. “Awas, ya, kamu kalau sampai-sampai tidak menuliskan nama kami dalam projeknya. Hidupmu akan menderita,” ancam Jadis. “Sekarang kerjakan semuanya!” teriak Roxy. Colin, Jadis, dan Roxy lalu pergi entah ke mana, meninggalkan Marnie sendirian. Colin, Jadis, dan Roxy sama sekali tidak mau mengerjakan projek fisika mereka. Mereka malah melimpahkan semua tugasnya kepada Marnie.

“Mengapa, ya, aku yang selalu harus mengerjakan semuanya?” tanya Marnie dalam hati.

Marnie sebenarnya tidak ingin dirinya yang mengerjakan projek fisika ini semuanya sendirian. Dia tahu dia harus memberitahu Jadis, Colin, dan Roxy bahwa mereka juga harus berkontribusi mengerjakan sesuatu, tapi dia takut. Dia takut mereka akan mengancam nyawanya. Dia takut projek ini tidak akan pernah selesai jika tiga teman sekelompok lainnya tidak turut serta mengerjakannya. Ditambah lagi, projek ini harus dikumpulkan minggu depan.

Berhari-hari Marnie mengerjakan projek kelompoknya sendirian tanpa bantuan. Ia merasa tidak benar jika hanya ia yang mengerjakannya sementara teman-teman sekelompoknya tidak, tetapi tetap mendapatkan nilai. Pikirannya menjadi buntu. Hatinya kesal, sedih, dan terpuruk. Matanya menatap layar komputer dengan hampa. Tatapannya tertumbuk pada tombol Del. Aha! Muncul gagasannya. “Bu Peterson mengharuskan ada nama anggota-anggota kelompok dalam projek ini. Bagaimana jika aku hapus saja nama Jadis, Colin, dan Roxy? Aha, itu baru namanya keadilan. Biar kapok mereka! Aku tidak perlu takut lagi kalau mereka akan membullyku. Bu Crow pasti telah melaporkan Colin, Roxy, Tom, dan Jadis kepada Bu Peterson.”

Hari Senin akhirnya datang juga. Marnie berjalan ke kelas fisika Bu Peterson. Dia tidak kelihatan semuram minggu sebelumnya. “Ayo anak-anak, kumpulkan projek fisika kalian dan bersiaplah untuk prentasi,” perintah Bu Peterson. Marnie dengan santainya mengumpulkan projek kelompoknya kemudian kembali ke tempat duduknya. “Siapa, ya, kelompok pertama yang akan mempresentasikan projeknya?” kata Bu Peterson sambil menarik undian. “Kelompok beruntung yang pertama adalah Marnie, Colin, Jadis, dan Roxy!”

Marnie dan kelompoknya maju ke depan kelas. Colin, Jadis, dan Roxy tampak kebingungan karena mereka tidak mengerti apa saja yang mereka akan bicarakan di depan seluruh kelas 7A. Mereka juga kaget ketika mereka melihat bahwa nama mereka tidak dicantumkan. Oleh karena itu, mereka langsung memandang Marnie dengan tatapan geram.

Marnie dapat menjelaskan semua tentang gaya dengan lancar, sementara Colin, Jadis, dan Roxy hanya bisa berbicara seadanya dengan terbata-bata. Kemudian Bu Peterson bertanya kepada kelompok tersebut, “Beritahu ibu siapa saja yang membuat apa?” “Saya yang mengerjakan semuanya Bu Peterson,” Marnie menjelaskan. “Colin, Jadis, dan Roxy tidak mau mengerjakan apapun.”

Colin, Roxy, dan Jadis langsung terdiam. Mereka gemetar ketakutan karena Bu Peterson akhirnya mengetahui semuanya. Mereka juga kaget melihat Marnie yang begitu beraninya melaporkan kejadian.

“Saya hapus nama Colin, Roxy, dan Jadis, Bu, karena saya pikir tidaklah adil bila hanya saya yang mengerjakannya tapi mereka juga ikut menikmati nilainya. Mereka tidak berhak mendapat nilai penuh,” kata Marnie dengan berani di depan kelas.

“Jadis, Colin, dan  Roxy, kalian tetap tinggal dulu sebentar di sini ketika bel istirahat berbunyi dan anak-anak lain keluar ke kantin. Saya perlu bicara soal perilaku kalian dalam mengerjakan projek kelompok ini,” perintah Bu Peterson.

Marnie merasa bangga akan dirinya sendiri. Ia tidak takut akan bullying dari teman-temannya lagi. Ia bisa menghadapi dunianya sekarang. Ia tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menjatuhkan semangatnya. Hidupnya berubah seketika saat Bu Crow menasehatinya tentang cara menghadapi bullying.

Sambil tersenyum, dia mengingat tombol Del yang telah mengubah hidupnya. Oh, syukurlah pencipta komputer dulu tidak lupa membuatnya. Thank you, Del!

No comments:

Post a Comment