“Mengapa, ya,
aku yang selalu harus mengerjakan semuanya?” tanya Marnie dalam hati. Air
matanya menetes seiring tetesan gerimis yang jatuh membasahi atap sekolah.
Marnie memang
anak yang berbeda. Dia mungkin tidak secantik anak-anak perempuan lain di
sekolahnya, tetapi ia memiliki hati yang paling murni dan otak yang paling
cemerlang. Ia sangat mudah bergaul. Ia juga mempunyai teman dekat sejak kecil
yang bernama Melanie. Sayangnya, ada geng anak jahat yang selalu membully dia, memanfaatkannya, dan merendahkannya.
“Anak-anak,
untuk tema pelajaran ini, kita tidak akan mengadakan ulangan, tapi untuk nilai
kalian, kalian harus membuat projek,” kata Bu Peterson, guru fisika untuk kelas
7A. “Apa projeknya?” tanya Melanie. “Kalian harus membuat presentasi tentang
gaya. Oh ya, projek ini juga kerja kelompok, jadi kalian semua akan dibagi
menjadi enam kelompok, empat anak dalam setiap kelompok,” jawab Bu Peterson.
“Boleh tidak kami memilih sendiri teman sekelompoknya?” tanya Colin, salah satu
anggota geng anak jahat yang sering membully
Marnie. “Tidak, Colin. Untuk projek ini, anggota-anggota kelompoknya akan
diundi,” jelas Bu Peterson. “Tidak ada pertanyaan lagi? Baiklah, kalau begitu
kita undi sekarang, ya, kelompok-kelompoknya.”
Marnie tidak
pernah menyukai pengundian ini. Ia berharap untuk tidak dalam satu kelompok
dengan siapa pun dari geng anak jahat: Colin, Roxy, Tom, atau Jadis.
“Kelompok pertama: Tom, Lucy, Vanessa, dan Carrie,”
sahut Bu Peterson.
“Kelompok
ke-dua: Marnie, Jadis, Colin, Roxy.”
Marnie sangat
terkejut, dan sedih sekali. Semangatnya langsung menurun. Begitu sedihnya Marnie
yang malang, hingga ia tidak mendengarkan empat kelompok lainnya.
Bel telah
berbunyi, dan saatnya untuk makan siang. Marnie berjalan ke kantin dengan muka
muram dan kepalanya menunduk. Di depan pintu kantin, Jadis tiba-tiba
menghampiri Marnie. “Selamat, ya, anak aneh,” ejek Jadis. Jadis dan gengnya
kemudian masuk ke dalam kantin sambil menertawakan Marnie. Tak lama setelah
itu, Melanie datang. “Sabar, ya, Marnie. Pasti Tuhan mempunyai maksud baik
dibalik ini semua. Tenang, ya,” ujar Melanie. “Mari kita makan saja sekarang.
Aku sudah lapar, nih.”
Seperti biasa, Marnie
dan Melanie duduk berdua dan mengambil meja di dekat pintu. Sambil memakan menu
spesial hari ini yaitu sayap ayam bumbu barbekyu dengan kentang tumbuk, mereka
asyik mengobrol dan tertawa, membuat Marnie melupakan kejadian tadi.
Di ujung
ruangan lainnya, Colin, Tom, Roxy, dan Jadis tampak sedang sibuk mendiskusikan
sesuatu. Sungguh mencurigakan bahwa ketika mereka berempat sedang berbicara,
mereka melirik-lirik ke arah meja Marnie dan Melanie. Lima menit mereka sibuk
sendiri, dan tiba-tiba… Plak! Lemparan Roxy tepat sasaran. Rambut Marnie yang
cokelat ikal dan indah, sekarang kotor dengan kentang tumbuk.
“Aha! Poin
untuk itu!” sahut Roxy.
“Rasakan itu,
anak freak!” teriak Tom.
Geng anak jahat
berhasil mempermalukan Marnie di depan seluruh murid di sekolahnya. Ia hanya
bisa lari dari ruang kantin sambil menangis dan menutupi mukanya. Ia tak tahu
kemana ia harus pergi, jadi ia masuk ke kamar kecil dan menangis di pojokan.
Sementara itu, Melanie dan beberapa teman lainnya sibuk mencari-cari Marnie.
Mereka tidak tahu di mana Marnie berada, dan sangat kebingungan.
Sudah setengah
jam Marnie menyendiri di kamar kecil. Kebetulan ada Bu Crow, seorang konselor
di sekolah itu, yang masuk. Ia melihat Marnie sedang menangis di ujung ruangan.
“Ada apa Marnie?” tanya Bu Crow. Marnie tidak mau menjawab. “Apa ada masalah?”
tanya Bu Crow lagi. Marnie tetap tidak mau menjawab. “Ayo kita ke ruangan saya
dan membicarakan soal ini,” ajak Bu Crow. Marnie menurutinya dan berjalan
menyusuri lorong menuju ruangan Bu Crow.
Sesampai di
ruangan Bu Crow, Marnie dan Bu Crow duduk di sofa biru yang empuk. “Pertama,
mengapa rambutmu penuh dengan kentang tumbuk?” tanya Bu Crow yang sangat
penasaran. Marnie tidak meresponi pertanyaan tersebut pada awalnya, sampai
akhirnya Bu Crow berkata, “Tidak apa-apa, nak. Jangan takut. Beritahu saja
kepada saya, supaya saya dapat membantumu, Marnie.” Akhirnya Marnie
mengeluarkan suara. “Roxy melemparnya,” kata Marnie dengan gugup. “Mengapa?”
tanya Bu Crow. “Saya tidak tahu,” jawab Marnie. “Hhmm, kalau ibu boleh
bertanya, apa yang terjadi sebelum kamu dilempari kentang tumbuk, Marnie?”
tanya Bu Crow dengan serius. Dengan terbata-bata, Marnie akhirnya menceritakan
seluruh kejadian yang dialaminya.
“Oh, begitu, tapi mengapa kamu berada di kamar
kecil sendirian?” tanya Bu Crow.
“Saya merasa
dipermalukan dan sedih. Makanya saya mau menyendiri,” jelas Marnie.
“Kamu harus
kuat, Marnie. Jangan takut melawan kejahatan. Kalau mereka mem-bullymu lagi, jangan hiraukan. Mereka
hanya menunjukkan kalau mereka sebenarnya iri denganmu karena kamu anak yang
pintar.”
Bel masuk
pelajaran berbunyi dan saatnya untuk Marnie kembali masuk kelas. Marnie kembali
belajar dalam kelas, tapi dengan semangat yang baru.
Hari-hari telah
berlalu dan saatnya untuk mengerjakan projek fisika bersama Colin, Jadis, dan
Roxy. “Eh, kamu, kerja!” perintah Colin dengan keras. “Awas, ya, kamu kalau
sampai-sampai tidak menuliskan nama kami dalam projeknya. Hidupmu akan
menderita,” ancam Jadis. “Sekarang kerjakan semuanya!” teriak Roxy. Colin,
Jadis, dan Roxy lalu pergi entah ke mana, meninggalkan Marnie sendirian. Colin,
Jadis, dan Roxy sama sekali tidak mau mengerjakan projek fisika mereka. Mereka
malah melimpahkan semua tugasnya kepada Marnie.
“Mengapa, ya,
aku yang selalu harus mengerjakan semuanya?” tanya Marnie dalam hati.
Marnie
sebenarnya tidak ingin dirinya yang mengerjakan projek fisika ini semuanya
sendirian. Dia tahu dia harus memberitahu Jadis, Colin, dan Roxy bahwa mereka
juga harus berkontribusi mengerjakan sesuatu, tapi dia takut. Dia takut mereka
akan mengancam nyawanya. Dia takut projek ini tidak akan pernah selesai jika
tiga teman sekelompok lainnya tidak turut serta mengerjakannya. Ditambah lagi,
projek ini harus dikumpulkan minggu depan.
Berhari-hari
Marnie mengerjakan projek kelompoknya sendirian tanpa bantuan. Ia merasa tidak
benar jika hanya ia yang mengerjakannya sementara teman-teman sekelompoknya
tidak, tetapi tetap mendapatkan nilai. Pikirannya menjadi buntu. Hatinya kesal,
sedih, dan terpuruk. Matanya menatap layar komputer dengan hampa. Tatapannya
tertumbuk pada tombol Del. Aha! Muncul
gagasannya. “Bu Peterson mengharuskan ada nama anggota-anggota kelompok dalam
projek ini. Bagaimana jika aku hapus saja nama Jadis, Colin, dan Roxy? Aha, itu
baru namanya keadilan. Biar kapok mereka! Aku tidak perlu takut lagi kalau
mereka akan membullyku. Bu Crow pasti
telah melaporkan Colin, Roxy, Tom, dan Jadis kepada Bu Peterson.”
Hari Senin
akhirnya datang juga. Marnie berjalan ke kelas fisika Bu Peterson. Dia tidak
kelihatan semuram minggu sebelumnya. “Ayo anak-anak, kumpulkan projek fisika
kalian dan bersiaplah untuk prentasi,” perintah Bu Peterson. Marnie dengan
santainya mengumpulkan projek kelompoknya kemudian kembali ke tempat duduknya.
“Siapa, ya, kelompok pertama yang akan mempresentasikan projeknya?” kata Bu
Peterson sambil menarik undian. “Kelompok beruntung yang pertama adalah Marnie,
Colin, Jadis, dan Roxy!”
Marnie dan
kelompoknya maju ke depan kelas. Colin, Jadis, dan Roxy tampak kebingungan
karena mereka tidak mengerti apa saja yang mereka akan bicarakan di depan
seluruh kelas 7A. Mereka juga kaget ketika mereka melihat bahwa nama mereka
tidak dicantumkan. Oleh karena itu, mereka langsung memandang Marnie dengan
tatapan geram.
Marnie dapat
menjelaskan semua tentang gaya dengan lancar, sementara Colin, Jadis, dan Roxy
hanya bisa berbicara seadanya dengan terbata-bata. Kemudian Bu Peterson
bertanya kepada kelompok tersebut, “Beritahu ibu siapa saja yang membuat apa?”
“Saya yang mengerjakan semuanya Bu Peterson,” Marnie menjelaskan. “Colin,
Jadis, dan Roxy tidak mau mengerjakan apapun.”
Colin, Roxy, dan
Jadis langsung terdiam. Mereka gemetar ketakutan karena Bu Peterson akhirnya
mengetahui semuanya. Mereka juga kaget melihat Marnie yang begitu beraninya
melaporkan kejadian.
“Saya hapus nama
Colin, Roxy, dan Jadis, Bu, karena saya pikir tidaklah adil bila hanya saya
yang mengerjakannya tapi mereka juga ikut menikmati nilainya. Mereka tidak
berhak mendapat nilai penuh,” kata Marnie dengan berani di depan kelas.
“Jadis, Colin,
dan Roxy, kalian tetap tinggal dulu
sebentar di sini ketika bel istirahat berbunyi dan anak-anak lain keluar ke
kantin. Saya perlu bicara soal perilaku kalian dalam mengerjakan projek
kelompok ini,” perintah Bu Peterson.
Marnie merasa
bangga akan dirinya sendiri. Ia tidak takut akan bullying dari teman-temannya lagi. Ia bisa menghadapi dunianya
sekarang. Ia tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menjatuhkan
semangatnya. Hidupnya berubah seketika saat Bu Crow menasehatinya tentang cara menghadapi
bullying.
Sambil
tersenyum, dia mengingat tombol Del
yang telah mengubah hidupnya. Oh, syukurlah pencipta komputer dulu tidak lupa
membuatnya. Thank you, Del!
No comments:
Post a Comment